Pada zaman dahulu tepatnya pada tahun 1048 didaerah ini dipimpin oleh seorang raja yang bernama Raja Wel Wina, sebelumnya di daerah ini telah di bangun jaringan-jaringan irigasi kecil sederhana dan Irigasi tertua adalah yang di bangun oleh Sultan Ageng Tirtayasa pada sekitar abad ke 17 yang di kenal sebagai kanal sultan. Namun ketika Belanda menjajah bagian barat Indonesia tepatnya didaerah Banten sampai ke wilayah Pamarayan, awalnya colonial Belanda hanya ingin mengambil rempah-rempah tetapi lama-kelamaan orang Belanda berinisiatif membuat jembatan untuk pengairan di lahan pertanian dan untuk mempermudah mobilitas mereka dalam mengambil rempah-rempah didaerah tersebut. Jembatan tersebut dibangun tahun 1901 faktanya tertulis pada Almanak yang tertera pada salah satu pintu air. Jembatan ini biasa disebut dengan nama Jembatan Putih atau Bendung Pamarayan Lama.
Bendung Pamarayan Lama mempunyai beberapa bagian bangunan antara lain saluran irigasi sepanjang ratusan meter yang dilengkapi dengan 10 pintu air berukuran raksasa. Diameter setiap pintu hampir 10 meter lebih yang merupakan bangunan utama. Selain itu Bendung Pamarayan Lama juga memiliki dua menara yang terletak di sisi kanan dan kiri bendungan.
Untuk menggerakkan setiap pintu air yang dibuat dari baja tersebut, pemerintah Belanda menggunakan rantai mirip rantai motor yang berukuran besar. Sepuluh rantai dikaitkan pada roda gigi elektrik yang terletak di bagian atas bendungan. Roda-roda gigi yang berfungsi untuk menggerakkan pintu air berjumlah puluhan di dalam 30 bok tipe 1,2 dan 3 (berukuran sedang) dan roda gigi tipe 4 dan 5 (berukuran besar). Setidaknya ada 20 as kopel berdiameter sekitar 7 centimeter dan panjang 1,5 meter sebagai penghubung roda gigi di setiap pintu air.
Pada saat itu yang mengerjakan jembatan tersebut adalah orang-orang pribumi dan para pekerja dari daerah jawa yang dipekerjakan oleh orang belanda. Proyek bendungan ini selesai dikerjakan pada tahun 1914 dan air mulai disalurkan pada tahun 1918, disamping bendungan ini terdapat bangunan yang di gunakan oleh kolonial belanda untuk MEMBAYAR upah para pekerja atau biasa di sebut dengan tempat ”PAMAYARAN” dalam bahasa Sunda karena bendungan ini di bangun di daerah yang kebanyakan penduduknya menggunakan bahasa sunda.
Warga pribumi hanya dibayar atau mendapat imbalan atas pekerjaannya hanya dengan dibayar dengan uang logam Wel Wina dengan cara pakai takeran tidak diperhitungkan dengan rinci, entah takeran uang ataupun takeran jagung. Pokoknya ukuran hanya 1 (satu) takeran. Mulai pada saat itu munculah keributan antara warga pribumi yang meributkan imbalan yang diberikan oleh Belanda. Semakin lama semakin berlanjut keributan tersebut, dan pada akhirnya daerah tersebut menjadi sebutan PAMAYARAN para pekerja jembatan pada masa penjajahan colonial Belanda. Dengan semangat juang dan kesatuan dari warga Indonesia akhirnya Bangsa Indonesia berhasil merebut KE-MERDEKAAN-NYA dari tangan penjajahan Belanda.
Kini dengan perbendaharaan kata yang semakin banyak dan bahasa yang semakin berkembang sebutan PAMAYARAN berubah menjadi PAMARAYAN yang kini menjadi nama sebuah kecamatan di Kabupaten Serang Provinsi BANTEN.
Daftar Pustaka
Nasheh Ulwan, Muhammad. 2013. Legenda Rakyat Banten. Blogspot.com pada Rabu, 27 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar