Sabtu, 29 Oktober 2016

Filosofi Pakaian Adat Baduy

Suku Baduy sering dianggap sebagai suku asli masyarakat Banten. Suku ini memegang erat hukum adat dan menutup diri dari masyarakat luar dan kemajuan teknologi yang saat ini semakin pesat. Kendati begitu, dari sisi penerimaannya terhadap masyarakat luar, suku Baduy sendiri dibagi menjadi 2, yaitu suku Baduy Dalam yang sama sekali tidak mau berinteraksi dengan masyarakat luar, dan suku Baduy Luar yang masih mau berinteraksi tapi dengan batas-batas tertentu. Dalam hal pakaian adat, kedua jenis suku Baduy ini juga memiliki perbedaan mencolok.

a. Pakaian adat Baduy Dalam

Suku Baduy Dalam cenderung menggunakan pakaian dengan warna putih polos yang mereka sebut dengan nama Jamang Sangsang. Nama tersebut sesuai dengan bagaimana cara baju tersebut digunakan. Baju Jamang Sangsang digunakan dengan cara disangsangkan atau digantungkan di badan. Baju ini hanya memliki lubang di bagian lengan dan leher tanpa kerah. Selain itu, baju ini juga tidak dilengkapi dengan kancing atau saku dan hanya dijahit menggunakan tangan. Bahan yang digunakannya pun harus dibuat dari pintalan kapas asli yang diperoleh dari hutan.

Sebagai bawahan, orang-orang Baduy Dalam mengenakan sarung warna hitam atau biru tua yang dililit dipinggang. Tak lupa ikat kepala dari kain putih juga dikenakan sebagai pembatas rambut yang biasanya terurai panjang.

Penggunaan warna putih pada pakaian adat Baduy dalam memiliki makna bahwa mereka masih suci dan belum dipengaruhi budaya luar yang cenderung merusak moral.

b. Pakaian adat Baduy Luar

masyarakat adat Baduy Luar lebih sering mengenakan pakaian adat berwarna hitam. Karena warnanya itu, baju ini diberi nama baju kampret (baju kelelawar). Desain baju adat Banten ini cenderung lebih dinamis. Kita bisa menemukan jahitan mesin, kancing, kantong, selain itu bahan yang digunakan juga tidak terpaku harus berupa kapas murni. Ciri khas lain yang dimiliki pakaian adat Baduy Luar adalah adanya ikat kepala warna biru tua bercorak batik.

Sumber:
http://adat-tradisional.blogspot.com

Kamis, 27 Oktober 2016

Filosofi Rumah Adat Orang Baduy

Suku Baduy di Rangkasbitung, Banten menjadi salah satu 'harta' yang dimiliki bangsa Indonesia. Pasalnya hingga kini orang Baduy terus melestarikan cara hidup nenek moyang mereka. Dalam setiap keseharian, orang Baduy beraktivitas secara tradisonal termasuk bentuk tempat tinggal mereka berupa Rumah Adat Baduy.

Rumah tradisonal masyarakat Baduy sangat mempertahankan gaya arsitektur tradisonal, bentuknya sederhana tapi menarik, dengan letak tertata rapih yang menghadap ke arah Utara. Arah ini mencerminkan budaya masyarakat Baduy yang peduli terhadap sekitar alam dan lingkungan.

Rumah masyarakat Baduy merupakan rumah panggung dengan bahan bangunan terbuat dari bambu. Atap rumah adat baduy terbuat dari daun yang disebut sulah nyanda. Nyanda berarti sikap bersandar, sandarannya tidak lurus melainkan agah merebah ke belakang. Salahsatu sulah nyanda ini dibuat lebih panjang dan memiliki kemiringan yang lebih rendah pada bagian bawah rangka atap.

Masyarakat Baduy membangun rumah mereka dengan bergotong royong dan saling membantu, Rumah adat baduy ini sendiri terkenal dengan kesederhanaan, dan dibangun berdasarkan naluri manusia yang ingin mendapatkan perlindungan dan kenyamanan.

Orang Baduy tinggal dan bermukim secara turun temurun di wilayah kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung.

Sumber:
banten.merahputih.com 

Sejarah Wilayah Serang

Seperti daerah lainnya,  Serang pun memiliki sejarah yang unik. Untuk edisi kali ini, saya mengajak Anda mengenal wilayah pusat pemerintahan provinsi banten pada waktu dulu.

Pemerintah Kabupaten Serang telah menetapkan tanggal 8 Oktober 1926 sebagai hari lahir Kota Serang. Hari di mana pusat pemerintahan Kerajaan Banten dipindahkan dari Banten Girang, tiga kilometer dari Kota Serang, ke daerah pesisir utara yang saat ini dikenal sebagai Banten Lama. 

Kabupaten Serang resmi dibentuk pada tahun 1918, dengan Pangeran Aria Adi Antika sebagai bupati (saat itu disebut regent-red) pertama. Saat itu, Kompeni Belanda di bawah pimpinan Gubernur Vander Capellen mengambil alih kekuasaan Banten dari Sultan Muhammad Rafiudin, dan membagi wilayah menjadi tiga kabupaten, yakni Serang, Lebak, dan Caringin. 

Terlepas dari itu, sejarah Kabupaten Serang tidak bisa dipisahkan dengan sejarah Banten. Sebuah kerajaan Islam sempalan dari Kerajaan Demak dengan Maulana Hasanudin sebagai raja pertama. 
Di bawah pemerintahan Maulana Hasanudin, pelabuhan Banten menjadi bandar besar, tempat persinggahan utama perdagangan antarpulau dan antarnegara. Pesatnya pertumbuhan perdagangan di Banten, juga ditandai dengan adanya tiga pasar di sekitar kota. 

Daerah Karangantu di sebelah timur kota, menjadi pusat transaksi pedagang dari Portugis, Arab, Turki, Cina, Birma, Melayu, Benggala, Gujarat, Malabar, dan Nusantara. Pasar di sebelah Masjid Agung, menjadi pusat jual-beli rempah-rempah, buah-buahan, tekstil, hewan, sayur-mayur, dan berbagai macam senjata. Pasar ketiga berada di daerah pecinan, yang dibuka sepanjang hari hingga malam. Selain sistem barter, Banten juga telah mengenal mata uang, yakni real Banten dan cash china, sebagai alat tukar. 

Perdagangan semakin maju pasca wafatnya Maulana Hasanudin tahun 1570. Maulana Yusuf, pengganti raja pertama, berhasil menjadikan Banten sebagai pusat pergudangan, atau penyimpanan barang untuk didistribusikan ke seluruh nusantara maupun luar negeri. 

Selain perdagangan, Maulana Yusuf juga mengembangkan sektor pertanian. Ia meminta rakyat untuk membuka lahan pertanian baru, sehingga sawah di Banten bertambah luas (melebihi luas wilayah Serang saat ini). Sebagai penunjang, raja juga membuat irigasi dan bendungan-bendungan, dan sebuah danau yang dinamai Tasikardi. 

Sejak saat itu, rakyat Banten hidup tentram, makmur dan sejahtera menikmati kejayaan Kerajaan Banten. Hingga pada masa pemerintahan Sultan Abdul Mufakir Mahmud tahun 1596-1651, rakyat mulai menderita karena maraknya penyelewengan dan perebutan kekuasaan.

Setelah mengalami keterpurukan, Serang berusaha untuk membangun kembali masa keemasan. Pada tahun 1960-an, industrialisasi mulai merambah daerah utara Banten, tak terkecuali Serang. 

Kawasan Serang Timur yang membentang dari Ciruas, Kibin, Cikande, Jawilan, hingga perbatasan Kabupaten Tangerang dan Lebak, menjadi kawasan industri. Badan Pusat Statistik (BPS) Banten mencatat, sedikitnya 177 perusahaan dengan 71.740 tenaga kerja berdiri di Serang. 

Bahkan menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Banten, Serang memiliki delapan kawasan industri. Antara lain, Langgeng Sahabat Industrial Estate, Nikomas Gemilang Industrial Estate, Pancatama Industrial Estate, Moderen Cikande Industrial Estate, Samanda Perdana Industrial Estate, Saur Industrial Estate, Kawasan Industri Terpadu MGM, dan Jababeka Cilegon Industrial Estate. Kedelapan kawasan industri itu rencananya akan menempati lahan seluas 4.712 hektar. 

Pesatnya pertumbuhan ekonomi juga terlihat dari banyaknya pusat perdagangan di Serang, seperti Pasar Induk Rau, Pasar Lama, dan kawasan Royal. Pemerintah boleh berbangga hati dengan keberhasilan industrialisasi di Serang. Namun, kesenjangan akibat dampak industrialisasi tidak bisa diabaikan. 

Perkembangan industri mengakibatkan lahan pertanian di Serang, terutama di sepanjang pantai utara dan kawasan timur, semakin menyempit. Penyempitan lahan persawahan, mengakibatkan banyak penduduk kehilangan pekerjaan. Banyak juga petani yang tidak lagi memiliki sawah, dan menjadi buruh tani musiman. 

Selain itu, warga yang memiliki tambak ikan ataupun di udang di pantura juga semakin merana. Beberapa tahun terakhir, hasil tambak mereka turun karena pertumbuhan ikan terganggu. Warga menduga hal itu terjadi akibat air tambak telah tercemar limbah industri yang mengalir ke laut. Hal itu menjadi pemicu pertumbuhan keluarga miskin di Serang. 

Jika melihat usia yang sudah 481 tahun dan bisa dianggap dewasa, seharusnya Pemkab Serang mampu menyelesaikan problem ketimpangan itu. 

Maulana Hasanudin yang memerintah dari nol tahun saja mampu mengembangkan perdagangan sekaligus mensejahterakan rakyat. Jadi, hal ini merupakan tantangan baru bagi Serang. Apakah Pemerintah Serang, mampu mewujudkannya atau tidak?


Sumber:
http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/

Jumat, 21 Oktober 2016

Tari Keceriaan Musim Panen dari Banten

Bendrong Lesung sudah begitu populer di masyarakat Cilegon, Banten. Bendrong Lesung pada awalnya adalah kesenian untuk menyambut musim panen. Jadi tarian Bendrong Lesung menggambarkan keceriaan dan sukacita masyarakat terhadap hasil panen yang didapatkan. Makanya tak heran, alu dan lesung jadi alat utama dalam memainkan tarian Bendrong Lesung.

Awal mulanya Tari Bendrong Lesung hanya dimainkan oleh wanita dewasa saja. Namun sekarang juga dimainkan oleh para remaja laki-laki maupun perempuan. Dalam pertunjukannya, kesenian Bendrong Lesung ini dimainkan oleh 6 orang. Dengan penuh semangat mereka memegang alu dan menghentakkannya pada lesung tersebut secara bergantian sehingga menghasilkan nada yang unik.

Pada Saat memainkan alu pemain atau penari bergerak seperti menari mengelilingi lesung dengan menunjukan ekspresi keceriaan mereka. Awalnya mereka hanya menari kecil saja, namun seiring dengan bertambah cepatnya tempo yang mereka mainkan, gerakan mereka juga mengikuti kecepatan tempo tersebut.

Tradisi tersebut masih terus berlanjut hingga sekarang, bahkan tidak hanya menjadi bagian dari musim panen saja, kesenian Bendrong Lesung ini menjadi salah satu kesenian khas dari kota Cilegon, Banten.

Seiring perkembangan zaman Tari Bendrong Lesung juga diiringi oleh alat musik tambahan seperti bedug dan gendang. Selain itu ada juga beberapa alat lain seperti tampah dan bakul sehingga menghasilkan suara unik dan bervariatif. Dalam pertunjukan bedrong lesung ini juga diiringi oleh lagu-lagu daerah seperti mamangguan, bajing loncat dan lain-lain.

Dalam hal kostum atau pakaian, tiap penari atau pemain Bendrong Lesung memakai pakaian petani saat di sawah. Dan warnanyapun cerah sesuai dengan suasana hati yang penuh kegembiraan. Biasanya tari Bendrong Lesung menggunakan pakaian tradisional masyarakat Banten.

Sumber:
http://indonesiana.merahputih.com/budaya/2016/02/19/bendrong-lesung-tari-keceriaan-musim-panen-dari-banten/38571/

Senjata Khas Jawara Banten

Golok ciomas merupakan senjata khas dari Banten. Tidak berbeda dengan golok kebanyakan, golok ciomas merupakan senjata tajam dengan bentuk golok pada umumnya. Golok ciomas sebagai senjata simpanan untuk membela diri. Golok ini dikenal sebagai senjata yang dibawa para jawara Banten saat zaman penjajahan dulu.

Nama "golok ciomas" diambil dari wilayah bernama "Ciomas" yang merupakan asal pembuatan golok. Ciomas merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Serang, terletak ke arah barat Kota Serang. Sangat mudah untuk menjangkau Ciomas. Dari Kota Serang banyak akutan kota yang langsung ke Ciomas. Jika Anda melihat angkot berwana kuning di Kota Serang, maka itu bisa membawa Anda ke Ciomas.

Bagi masyarakat banten, golok biasa juga disebut "bedog". Namun, ada perbedaan bahwa bedog biasa untuk sebutan perkakas pertanian atau pertukangan. Untuk membedakan dengan bedog sebagai senjata, maka disebut juga "bedog ciomas" yang langsung merujuk khusus untuk senjata.

Golok ciomas memiliki keistimewaan dalam segi proses pembuatan. Hal itu pula yang memberikan nilai seni tersendiri bagi golok ciomas. Tidak hanya sekedar tajam, pembuatan golok ciomas mengikuti aturan-aturan tidak tertulis yang dilakukan dari generasi ke generasi sejak zaman Kesultanan Banten.

Salah satunya, golok ciomas hanya dibuat pada bulan Mulud yaitu bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Seperti diketahui, mayoritas masyarakat Banten beragama Islam, waktu kelahiran nabi memilik makna tersendiri. Berbeda dengan pembuatan golok perkakas, golok ciomas melewati ritual tertentu. Hal yang berbeda lain yaitu penempaan besi bahan golok cimomas hanya menggunakan godam atau penempa khusus bernama Ki Denok.

Palu atau godam bernama Ki Denok ini merupakan warisan pada zaman kerajaan Islam Banten. Godam ini merupakan hadiah dari Sultan Banten. Dengan aturan pembuatan yang ketat, golok ciomas menjadi golok yang bernilai artistik tinggi. Golok ciomas terkenal dengan ketajamannya dan keseimbangan bentuk yang diakui memilik kelebihan dibanding dengan senjata lain.

Pada masa penjajahan, para jawara Banten menggunakan golok ciomas sebagai senjata untuk mengusir penjajah. Karena pembuatannya yang tidak sembarangan ini, tidak semua orang dapat memiliki senjata ini. Kepemilikian golok ciomas dimaksudkan agar si pemegang hanya untuk menjaga kebaikan. Golok ciomas tidak digunakan sembarangan apalagi untuk melakukan kejahatan.

Saat ini, golok dari para perajin golok di Ciomas bisa menjadi cinderamata bagi para pelancong ke Banten. Ciomas dikenal sebagai sentra pembuatan golok. Untuk itu pula, sebuah golok terbesar di dunia dibuat di Ciomas sebagai bentuk kecintaan masyarakat Banten, khususnya Ciomas terhadap golok. Golok besar ini diberi nama Golok Nyi Gede. Nama ini merujuk kepada sebutan Nyi Kawunganten ibunda Sultan Maulana Hasanuddin.

Golok Nyi Gede memiliki berat bilah atau besi golok 1.500 kilogram, gagang kayu 250 kilogram, dan sarangka atau sarung golok 250 kilogram. Secara keseluruhan berarti golok ini memilik berat 2 ton. Golok Nyi Gede ini dapat dilihat di Ciomas sebagai ikon Ciomas. Panjang golok sebesar 5 meter, gagang 1,7 meter, dan serangka 5,6 meter. Golok raksasa ini dibuat sebagai kebanggaan banyarakat Banten terhadap warisan budayanya, dan disebut sebagai simbol kekeluargaan.

Sumber:
http://banten.merahputih.com/budaya/2016/03/03/golok-ciomas-senjata-khas-jawara-banten

Minggu, 16 Oktober 2016

Filosofi Sate Khas Banten

Sate di nusantara pada umumnya menggunakan daging ayam, sapi atau kerbau sebagai bahan dasarnya. Namun di Kota Serang, Banten, ada satu sate yang unik karena tidak menggunakan daging ayam maupun sapi tapi menggunakan ikan bandeng sebagai bahan utamanya. Kuliner inipun menjadi salah satu ciri khas kuliner dari Kota Serang, namanya Sate Bandeng.
Sesuai namanya, sate ini menggunakan ikan bandeng atau yang bernama latin Chanos chanos. Ikan ini memiliki duri yang sangat banyak dan menempel pada bagian dalam dagingnya. Sehingga saat proses pembuatan sate, duri-duri ini dihilangkan terlebih dahulu. Cara ini juga yang dipakai pada abad 16 oleh juru masak Kerajaan Banten Girang saat pertama kali membuat sate bandeng.
Awalnya juru masak bingung saat ingin menyuguhkan hidangan ikan bandeng. Dirinya pun memutar otak untuk meminimalisir duri yang tertanam di daging ikan. Tak habis akal, sang juru masak memukul ikan hingga dagingnya hancur dan terpisah dari kulitnya. Daging yang telah hancur itu kemudian dikeluarkan dengan cara mencabut tulang dari bagian bawah kepala. Hal tersebut untuk membuang duri-duri halus yang terkandung dalam ikan.
Daging ikan kemudian dicampur dengan santan dan bumbu rempah kemudian dimasukan kembali ke dalam ikan. Kulit ikan bandeng yang keras membuat ikan terlihat seperti utuh kembali, setelah itu ikan dibakar.
Hingga kini cara tersebut masih dipertahankan oleh masyarakat Kota Serang. Bahkan sate bandeng telah menjadi ikon yang khas saat berkunjung ke Banten khususnya Kota Serang sebagai ibukota.
Di pusat oleh-oleh kawasan Kota Serang banyak yang menjual sate bandeng sebagai hidangan untuk dibawa pulang. Sate bandeng bisa tahan hingga mencapai tiga hari, hal ini membuat para pecinta kuliner sering menjadikan sate ini sebagai buah tangan untuk keluarga atau kerabat di rumah.

Sumber:
http://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/sate-bandeng-sate-khas-warga-serang

Terminologi Jawara, Jagoan, dan Preman

Secara umum jawara memiliki definisi sebagai orang yang memiliki kepandaian bermain silat dan memiliki keterampilan-keterampilan tertentu. Berbeda dengan perampok atau pencuri, mereka adalah figur seorang yang mampu menjaga keselamatan dan keamanan desa, sehingga karenanya masyarakat menghormati keberadaan mereka. Pada umumnya, jawara sangat patuh kepada ulama, karena semangat dalam jiwa mereka diperoleh dari para kaum ulama. Di tanah Betawi sendiri hampir memiliki makna yang sama, namun istilah jawara bagi masyarakat natif Betawi berangkat dari istilah “potong letter” lidah natif Betawi yaitu juware atau juara yang tidak terkalahkan dalam hal bela diri “maenpukulan” atau pencak silat.

Berbeda dengan Jagoan, kata ini berasal dari kata dasar “jago” yang menurut Ridwan Saidi merupakan loanword dari bahasa Portugis Jogo yang artinya “champion” atau juara (Ridwan Saidi, Glosari Betawi: 43). Disisi lain menurut tradisi lisan, jago merupakan istilah yang agak umum bagi golongan “tukang pukul” dan seorang yang suka berkelahi. Jagoan bernada lebih positif ketimbang istilah preman pada masa kini. Jagoan adalah sebutan untuk anggota masyarakat yang berpengaruh dan disegani di kampungnya, orang yang kuat, tukang pukul dan pemberani. Secara hirarki, jagoan dianggap lebih rendah kedudukannya dibanding jawara. Karena sebagaimana seperti yang disebutkan di atas, jawara dapat dikatakan sebagai istilah lain dari pendekar, ksatria yang ditokohkan masyarakat sebagai orang yang suka memberikan perlindungan dan keselamatan secara fisik terhadap masyarakat, juga dianggap sebagai orang yang dituakan atau sesepuh.

Lalu bagaimana dengan preman?. Secara etimologi preman merupakan loanword dari bahasa Belanda,Vrijman yang bermakna “orang bebas” atau dalam bahasa Inggris disebut free man. Dalam Kamus Bahasa Indonesiaakan kita temukan paling tidak 3 arti kata preman, yaitu: 1. swasta, partikelir, non pemerintah, bukan tentara, sipil. 2. sebutan orang jahat (yang suka memeras dan melakukan kejahatan) 3. kuli yang bekerja menggarap sawah. Secara umum istilah preman dapat disimpulkan sebagai sebutan pejoratif (kata sandang merendahkan) yang sering digunakan untuk merujuk kepada kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan penghasilannya terutama daripemerasan kelompok masyarakat lain.

Dari tiga terminologi di atas, hendaknya kita masih dapat membedakan makna, fungsi dan peranan masing-masing dalam masyarakat. Sehingga kita tidak terburu-buru untuk menjustifikasi seseorang berdasar perilakunya.

Daftar Pustaka
Atu Karomah. Jawara dan Budaya Kekerasan pada Masyarakat Banten. Tesis S2 UI. Jakarta

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1996. BP. Jakarta 

Falah, Miftahul. 1995. Kejawaraan Dalam Dinamika Kabupaten Lebak, Jakarta

Saidi, Ridwan. 2007. Glosari Betawi. Jakarta

RM. Taufik Djajadiningrat. 1995. Sejarah dan Silsilah Ringkas Para Sinuhun Kesultanan Banten. Jakarta.

Tasbih & Golok. 2002. Tim penelitian Studi Kharisma Kyai & Jawara di Banten. STAIN Serang

Menapaki Jejak Jawara di Banten

Di sebagian masyarakat Jawa bagian Barat umumnya dan Banten khususnya, keberadaan jawara memiliki rentetan sejarah yang sangat panjang. Jawara bukanlah sosok penamaan yang baru muncul kemarin sore, keberadaannya ditenggarai telah ada sejak zaman kerajaan Sunda berdiri yang hingga kini masih tetap eksis, bahkan di Banten sendiri sejak abad ke 19 kelompok jawara telah menjadi bagian dari golongan elit masyarakat selain kaum ulama dan pamong praja.

Bagi masyarakat Banten dan sekitarnya, ulama dipandang sebagai tokoh masyarakat yang menjadi sumber kepemimpinan informal terpenting. Masyarakat mematuhi perintah ulama karena memandang kaum ulama sebagai sosok yang disegani. Berbeda dengan kedudukan ulama, pamong praja dan jawara merupakan kelompok sosial yang kedudukannya tidaklah melebihi kedudukan kaum ulama. Namun diantara ketiganya, ulama dan jawara menjadi golongan yang khas di daerah ini. Keduanya diibaratkan bagai dua sisi mata uang, bahkan karena kedekatan emosional diantara keduanya, jawara dianggap sebagai “khodam” nya para ulama. Karena dari para ulamalah sebagian besar “keilmuan” jawara itu berasal. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kalau Taufik Abdullah menyebut Banten, sebagai “negeri para ulama danjawara”.

Seiring dengan perjalanan waktu, persepsi masyarakat terhadap Jawara memiliki pemahaman yang beragam, mulai dari hal yang positif sampai ke hal yang negatif. Pemahaman masyarakat yang beragam ini tidak terlepas dari sepak terjang sosok Jawara, yang memiliki peranan cukup besar dalam tiga masa perjalanan sejarah di Banten dan Jawa bagian Barat, yaitu masa kerajaan Sunda, kesultanan Banten, dan masa kolonial Belanda. Belakangan, kehidupan jawara dengan character building yang khas itu menciptakan sub kultur kebudayaan baru masyarakat Banten dan sekitarnya, yaitu Subculture of Violence (sub kultur kekerasan). Permasalahan ini muncul ke permukaan akibat terkontaminasinya nilai-nilai kejawaraan sehingga sebagian masyarakat ada yang menilai jawara identik dengan premanisme. Sebagai subkultur kekerasan, jawara memiliki motif-motif tertentu dalam melakukan kekerasan. Merekapun mengembangkan gaya bahasa atau tutur kata yang khas, yang terkesan sangat kasar (sompral) dan penampilan diri yang berbeda dari mayoritas masyarakat. seperti berpakaian hitam dan memakai senjata golok (Atu Karomah, Jawara dan Budaya Kekerasan pada Masyarakat Banten, Tesis S2 UI). Penampilan terakhir inilah yang sebagian besar masyarakat umum diidentikan dengan pencak silat tradisional.

Daftar Pustaka
Atu Karomah. Jawara dan Budaya Kekerasan pada Masyarakat Banten. Tesis S2 UI. Jakarta

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1996. BP. Jakarta 

Falah, Miftahul. 1995. Kejawaraan Dalam Dinamika Kabupaten Lebak, Jakarta

Saidi, Ridwan. 2007. Glosari Betawi. Jakarta

RM. Taufik Djajadiningrat. 1995. Sejarah dan Silsilah Ringkas Para Sinuhun Kesultanan Banten. Jakarta.

Tasbih & Golok. 2002. Tim penelitian Studi Kharisma Kyai & Jawara di Banten. STAIN Serang

Filosofi Jawara di Banten

Belum adanya pencatatan histographia mengenai awal mula kemunculan istilah jawara di masyarakat Banten dan Jawa bagian Barat, menyulitkan untuk diketahui secara pasti kapan dan dimana pen ggunaan istilah Jawara ini diberikan kepada seseorang yang memiliki kunggulan fisik dan supranatural, dan cenderung menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalannya. Begitupun halnya dengan istilah jawara itu sendiri. Penyusuran proses kemunculan istilah jawara baru terbatas pada sejarah sosial (budaya tutur) bersifat “stamboom” bukan “geschiedenis” atau “history”, yang secara akademis sukar untuk dipertanggung jawabkan.

Dari stamboom yang ada, sebagian besar masyarakat sepakat untuk menunjuk daerah Banten sebagai tempat dimana istilah ini pertama kali muncul, karena jawara merupakan salah satu entitas masyarakat Banten yang sangat terkenal. Hingga dalam perkembangannya menyebar ke beberapa daerah yang melingkupinya termasuk Betawi, Bekasi-Pantura, Bogor dan Priangan bersamaan dengan dimulainya proyek pembangunan Jalan Raya Pos Deandles (RM. Taufik Djajadiningrat,Sejarah dan Silsilah Ringkas Para Sinuhun Kesultanan Banten, 1995 : 121-122).

Berdasar catatan seorang peneliti sejarah kabupaten Lebak, Miftahul Falah, S.S menguraikan bahwa sejarah sosial masyarakat Banten sendiri memiliki empat penafsiran tentang proses kemunculan istilah jawara.

Penafsiran pertama ketika kerajaan Sunda menggunakan sekelompok masyarakat sebagai perantara atau penghubung antara masyarakat dengan rajanya. Mereka memiliki kewenangan tidak hanya melayani antara raja dan rakyat, tetapi juga membela dan melindunginya. Dalam keseharian mereka memiliki ke khasan dalam berpakaian dan gaya hidupnya, seperti jago dalam menyabung ayam, pandai bermain pencak silat dan memiliki ilmu “kadugalan” yang kebal senjata tajam sebagai kekuatan supranaturalnya. Dalamperkembangan selanjutnya, keterampilan bermain silat dan kekebalan tubuh yang dimilikinya menjadi ciri utama kelompok ini sehingga melahirkan sebutan jawara.

Penafsiran kedua, ketika pada masa Kesultanan Banten dipegang oleh Maulana Hasanuddin. Dalam menghadapi pasukan Pajajaran yang teramat kuat, Sultan membentuk sekelompok orang-orang dalam satu pasukan khusus yang dipimpin oleh Maulana Yusuf. Setiap anggotanya memiliki keunggulan secara lahir dan batin, militan dan mampu mengahncurkan secara cepat menyusup ke pusat pemerintahan Pajajaran di Pakuan. Pasukan khusus tanpa identitas itu diberi nama Tambuhsangkane, yang bergerak dengan tidak mengatas namakan kesultanan Banten. Sifat militan yang dimiliki oleh pasukan khusus ini menumbuhkan sifat pemberani dan kemudian dibina secara terus menerus. Dari merekalah kemudian lahir kaum jawara.

Penafsiran ketiga, F.G. Putman Craemer, Residen Banten (1925-1931), istilah jawara dimulai dengan dibentuknya perkumpulan Orok Lanjang oleh golongan pemuda di Distrik Menes Pandeglang, yang bermakna harfiah sebagai “bayi yang menjelang dewasa”. Perkumpulan kampung ini pada awalnya dibentuk untuk meningkatkan hubungan kekerabatan dalam satu lingkungan, memberikan pertolongan dan pelayanan dalam segala kegiatan termasuk membantu masyarakat dalam penyelenggaraan pesta atau acara kampung. Lambat laun tugas yang diserahkan masyarakat kepada kelompok pemuda ini sebagai penyelenggara acara kampung menjadi satu kewajiban, apabila tidak diundang atau diserahkan sebagai petugas penyelenggara mereka akan mengacau atau bahkan menggagalkan jalannya acara. Pada perkembangannya, kelompok ini berkembang menjadi organisasi tukang pukul yang dikenal dengan sebutan jawara. Mereka menjadi organisasi momok yang menakutkan bagi masyarakat, sampai-sampai aparat praja setempat tidak dapat bertindak tegas kepada mereka.

Penafsiran keempat, istilah jawara muncul ketika terjadi perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda di abad 19 yang digerakkan oleh kaum ulama. Kaum ulama yang umumnya memiliki dua kelompok santri yang dididik berdasar bakat dan kemampuan mereka, dimana kelompok pertama merupakan kaum santri yang memiliki bakat di bidang ilmu agama yang akan menggantikan posisi para ulama nantinya. Mereka dibekali ilmu hikmah selain ilmu agama Islam sebagai ilmu dasarnya . Sedangkan kelompok kedua merupakan kaum santri yang memiliki bakat dan kemampuan di bidang bela diri pencak silat. Kelompok kedua ini dididik dan dibina kekuatan fisiknya dengan ilmu bela diri pencak silat, dan dibekali pula dengan ilmu hikmah namun jauh lebih sedikit porsinya dibanding santri kelompok pertama. Mereka ditugasi untuk melakukan teror terhadap pemerintah kolonial Belanda dan kaki tangannya. Kelompok kedua inilah yang kemudian hari disebut dengan jawara.

Penafsiran kelima, istilah jawara muncul sebagaimana yang diungkapkan RM Taufik Djajadiningrat, tatkala dimulainya pembangunan Jalan Raya Pos Deandles (1808-1811) antara Anyer-Panarukan. Pembangunan jalan yang sangat merugikan rakyat ini menimbulkan pemberontakan dikalangan para pendekar persilatan, dikenal dengan peristiwa Perang Pertama. Dari peristiwa pemberontakan ini memunculkan julukan jawara yang ditujukan kepada mereka.

Pada awalnya istilah jawara memiliki makna sebagaijagoan, dengan pengertian jago dalam menyabung ayam dan bela diri pencak silat. Selain itu, mereka pun memiliki kemampuan untuk mempertontonkan ilmu kekebalan. Kemampuan-kemampuan itu dipergunakan oleh parajawara untuk membela dan menciptakan rasa aman dan ketenangan di lingkungannya. Kemampuan itu mereka miliki karena kedudukannya sebagai pemimpin informal di tengah-tengah masyarakat, baik semasa kerajaan Sunda, kesultanan Banten, maupun pada masa pemerintahan kolonial Belanda.

Pergeseran makna jawara yang terkontaminasi dengan hal yang negatif terjadi pada abad ke 19 ketika Banten dan sekitarnya diwarnai oleh kekacauan dan perampokan yang tiada tara. Hal ini kemudian oleh pemerintah kolonial Belanda dimanfaatkan untuk membentuk stigma negatif kepada para pejuang dari kalangan pendekar persilatan dan kaum ulama. Stigma negatif ini sengaja diciptakan Belanda dalam upaya memprovokasi masyarakat untuk menganggap mereka sebagai pembuat onar, pengacau, dan perampok. Sehingga mencap semua kaum jawara adalah bandit sehingga perlawanan dalam bentuk gerakan sosial, yang bermaksud melawan penjajahan asing dianggap sebagai onsluten (keonaran), ongergeldheden(pemberontakan), complot (komplotan), woelingen(kekacauan), dan onrust (ketidak amanan). Sejak saat itulah para pendekar persilatan dan ulama yang mengadakan perlawanan dianggap sebagai jawara, yang merupakan akronim dari jalma wani nga-rampog (orang yang berani merampok) atau orang yang beani menipu/pembohong (jalma wani nga-rahul). Konotasi negatif ini terus berkembang sampai abad ke 20, dan hingga kini tidak sedikit masyarakat yang termakan oleh stigma negatif Belanda tersebut.

Seiring dengan perkembangan waktu, Jawara yang merasacitranya terjebak dalam konotasi negatif masyarakat yang diciptakan Belanda, berusaha mengcounter dengan istilahjalma jago nu wani ramah (orang yang jagoan berani dan ramah). Tentu ada pula segelintir jawara yang memiliki perilaku negatif, namun hal ini dapat diselesaikan di dalam internal kelompok “kejawaraan” nya itu sendiri. Umunya dalam suatu organisasi kejawaraan terdapat aturan-aturan yang bersifat konvesional untuk menyelesaikan permasalahan, terutama terhadap jawara yang berperilaku negatif.

Daftar Pustaka
Atu Karomah. Jawara dan Budaya Kekerasan pada Masyarakat Banten. Tesis S2 UI. Jakarta

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1996. BP. Jakarta 

Falah, Miftahul. 1995. Kejawaraan Dalam Dinamika Kabupaten Lebak, Jakarta

Saidi, Ridwan. 2007. Glosari Betawi. Jakarta

RM. Taufik Djajadiningrat. 1995. Sejarah dan Silsilah Ringkas Para Sinuhun Kesultanan Banten. Jakarta.

Tasbih & Golok. 2002. Tim penelitian Studi Kharisma Kyai & Jawara di Banten. STAIN Serang

Sabtu, 15 Oktober 2016

Seni Mistik Tanah Banten


Pengertian Debus
Debus merupakan kesenian bela diri dari Banten yang mempertunjukan kemampuan manusia yang luar biasa. Misalnya kebal senjata tajam, kebal air keras dan lain- lain. Kesenian ini berawal pada abad ke-16, pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1532-1570). Pada zaman Sultan Ageng Tirtayasa (1651—1692) Debus menjadi sebuah alat untuk memompa semangat juang rakyat banten melawan penjajah Belanda pada masa itu. Kesenian Debus saat ini merupakan kombinasi antara seni tari dan suara.
Debus, merupakan kata dan istilah yang sangat aneh. Sebab, secara keseharian kata debus sudah sangat akrab dengan telinga masyarakat, namun istilah dan artinya tidak atau belum diketahui secara pasti. Hal itu disebabkan data tertulis hingga saat ini belum ditemukan. Ada dua pengertian yang diyakini kebenarannya, yaitu muncul pertama dari salah seorang pemerhati terhadap Kesenian Debus ini, yaitu Bapak A Sastrasuganda yaitu pensiunan Kepala Seksi Kebudayaan Kandepdikbud paten Serang, mengatakan bahwa Debus berasal dari bahasa Sunda. Kata debus “tembus” (Sandjin Aminuddin, 1997 :153). Debus yang berarti tembus menunjukkan bahwa alat-alat yang diperagakan adalah benda-benda tajam dalam permainan tersebut dapat menembus badan para pemainnya. Kedua, Debus berasal dari kata gedebus, yaitu nama salah satu benda tajam yang digunakan dalam permainan tersebut. Karena permainan Debus adalah permainan kekebalan tubuh, maka debus dapat pula diartikan “tidak tembus” oleh berbagai senjata yang ditusukkan atau dibacokkan ke tubuh manusia.
Menurut Dr H Imron Arifin yang meneliti debus tahun 1988, nama debus berasal dari bahasa Arab yang bermakna “jarum” atau alat penusuk. Sebab permainan itu ditandai oleh keberadaan alat tusuk baik yang ditusukkan ke pipi, leher, dada, tangan, maupun almadad yang ditikamkan ke tubuh tapi tidak tembus. Istilah debus sendiri berasal dari Baghdad terkait dengan aliran tarikat tertentu. Dalam permainan Debus terdapat kolaborasi antara kekebalan tubuh dan permainan pencak silat. Atraksi permainan ini membuat para penonton merasa ngeri karena senjata tajam seperti golok, gedebus (almadad), dan lain-lain atau bahkan api yang membakar manusia tidak mampu melukai para pemainnya. Oleh karenanya, ada yang mengatakan Debus  sebagai permainan sulap yang mampu mengelabui mata para penonton.

Penyebararan Seni Debus
Kesenian Debus ini berkembang di daerah Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang terutama di Kecamatan Walantaka dengan tokohnya M. Idris. Sedangkan di Kecamatan Curug tokohnya Umor, di Kecamatan Cikande tokohnya H. Renam, dan di atan Ciruas tokohnya adalah H. Ahmad. Debus pun meluas ke Jawa Timur dikembangkan oleh KH Agus Ghufron Arief di Pesantren Nurul Haq di kampung Peneleh Surabaya. Debus sendiri yang sumbernya ditengarai dari tarikat merupakan kesenian yang sarat an doa-doa yang diambil dari ayat suci Al-Qur’an sebagai jampi-jampi untuk kekebalan tubuh.

Sejarah Debus
Asal-usul debus tidak dapat dipisahkan dari penyebaran agama Islam di daerah Banten. Debus adalah salah satu sarana dalam penyebaran agama Islam tersebut. Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasaa pada abad XVII (1651 — 1652), Debus dijadikan alat propaganda dalam membangkitkan semangat rakyat dalam perjuangan melawan Belanda (Sandjin Aminuddin, 1997 :156).
Seperti dikatakan di atas, bahwa Debus dikolaborasikan dengan kesenian Pencak silat, maka dapat dikatakan bahwa Debus merupakan kesenian bela diri. Sultan Ageng Tirtayasa memberi warna Debus dengan ilmu kekebalan tubuh kepada para pengikutnya dengan jampi-jampi yang diambil dari ayat suci Al-Qur’an. Ayat-ayat tersebut dihapalkan dan diresapi secara mendalam sehingga dapat mempertebal semangat moral dalam melawan Belanda. Kesenian Debus sangat berperan dalam alur sejarah rakyat Banten dalam melawan penjajah Belanda pada masanya yang dilandasi ajaran agama Islam sebagai keyakinan dalam melakukan perjuangan tersebut.
Dilacak dari asal usulnya, menurut Dr H Imron Arifin, kesenian debus berasal dari Tarikat Rifa’iyyah, yaitu tarikat yang dinisbatkan kepada Syaikh Ahmad Rifa’i al-Baghdady, seorang tokoh sufi yang mengajar pengetahuan ruhani aneh. Dikatakan ganjil dan aneh, karena Syaikh Ahmad Rifa’i mengajari murid-muridnya untuk berdzikir yang khusyuk di mana untuk menguji kekhusyukan Syaikh Ahmad Rifa’i melakukan tindakan-tindakan ganjil seperti menyulut tubuh muridnya dengan bara api, digigitkan ular kobra, ditusuk besi tajam, dikepruk benda keras, bahkan dilempar ke kobaran api. Jika sang murid masih sakit dan berteriak, maka itu pertanda dzikirnya kurang khusyuk Begitulah tarikat Rifa’iyyah dikenal sebagai penyebar ajaran debus dalam berdzikir yang dilakukan dengan suara lantang.
Ajaran Tarikat Rifa’iyyah diketahui disebarkan di Aceh oleh Syaikh Nuruddin Ar-Raniri di mana tokoh ini memiliki murid Syaikh Yusuf Tajul Khalwati al-Makassari. Rupanya, Syaikh Yusuf Tajul Khalwati al-Makassari inilah yang pertama kali mengajarkan debus di Banten, karena beliau bersama-sama dengan Sultan Ageng Tirtayasa melawan Belanda. Namun belum diketahui, kapan debus sebagai metode dalam tarikat berubah menjadi seni.
Jika ditelaah dalam bahasa arab debus Berarti senjata tajam yang terbuat dari besi yang mempunyai ujung yang runcing dan bentuknya sedikit bundar. Nah , karena itulah alat tersebut dipergunakan sebagai alat untuk menghantam atau melukai setiap pemain debus, yang mempertunjukkan atraksi kekebalan tubuh. Selain itu juga masih banyak variasi-variasi atraksi lain seperti menusuk perut, dengan benda tajam biasanya menggunakan paku Banten yang runcing, memakan bara api, menusukkan jarum panjang ke lidah,  kulit, pipi sampai tembus dan hasilnya tidak ada luka sama sekali dan tidak mengeluarkan darah tetapi dapat disembuhkan pada seketika itu juga, menyiram tubuh dengan air keras sampai pakaian yang melekat di badan hancur, mengunyah beling/serpihan kaca, membakar tubuh. Dan masih banyak lagi atraksi yang mereka lakukan.
Di Banten sendiri kesenian debus atau keahlian melakukan debus menjadi sesuatu yang lumrah dan banyak perguruan yang mengajarkannya. Untuk saat ini biasanya kesenian debus di pentaskan dalam acara-acara seperti pesta pernikahan, sunatan, acara 17 agustusan, dan banyak lagi acara yang biasanya mempertunjukan kesenian ini.

Bentuk Atraksi Debus
Permainan debus merupakan bentuk kesenian yang dikombinasikan dengan seni tari, seni suara dan seni kebatinan yang bernuansa magis. Kesenian debus biasanya dipertunjukkan sebagai pelengkap upacara adat, atau untuk hiburan masyarakat. Pertunjukan ini dimulai dengan pembukaan (gembung), yaitu pembacaan sholawat atau lantunan puji-pujian kepada Nabi Muhammad, dzikir kepada Allah, diiringi instrumen tabuh selama tiga puluh menit. Acara selanjutnya adalah beluk, yaitu lantunan nyanyian dzikir dengan suara keras, melengking, bersahut-sahutan dengan iringan tetabuhan.
Bersamaan dengan beluk, atraksi kekebalan tubuh didemonstrasikan sesuai dengan keinginan pemainnya : menusuk perut dengan gada, tombak atau senjata almadad tanpa luka; mengiris anggota tubuh dengan pisau atau golok; makan api; memasukkan jarum kawat ke dalam lidah, kulit pipi dan angggota tubuh lainnya sampai tebus tanpa mengeluarkan darah; mengiris anggota tubuh sampai terluka dan mengeluarkan darah tapi dapat disembuhkan seketika itu juga hanya dengan mengusapnya; menyiram tubuh dengan air keras sampai pakaian yang dikenakan hancur lumat namun kulitnya tetap utuh. Selain itu, juga ada atraksi menggoreng kerupuk atau telur di atas kepala, membakar tubuh dengan api, menaiki atau menduduki tangga yang disusun dari golok yang sangat tajam, serta bergulingan di atas tumpukan kaca atau beling. Atraksi diakhiri dengan gemrung, yaitu permainan alat-alat musik tetabuhan.

Sumber :
http://www.pesantrenglobal.com/debus-seni-mistis-islam-tanah-banten/

Filosofi Bendungan Lama dan Asal usul Nama Pamarayan

Pada zaman dahulu tepatnya pada tahun 1048 didaerah ini dipimpin oleh  seorang raja yang bernama  Raja Wel Wina, sebelumnya di daerah ini telah di bangun jaringan-jaringan irigasi kecil sederhana dan Irigasi tertua adalah yang di bangun oleh Sultan Ageng Tirtayasa pada sekitar abad ke 17 yang di kenal sebagai kanal sultan. Namun ketika Belanda menjajah bagian barat Indonesia tepatnya didaerah Banten sampai ke wilayah Pamarayan, awalnya colonial  Belanda hanya ingin mengambil rempah-rempah tetapi lama-kelamaan orang Belanda berinisiatif membuat jembatan untuk pengairan di lahan pertanian dan untuk mempermudah mobilitas mereka dalam mengambil rempah-rempah didaerah tersebut. Jembatan tersebut dibangun tahun 1901 faktanya tertulis pada Almanak yang tertera pada salah satu pintu air. Jembatan ini biasa disebut dengan nama Jembatan Putih atau Bendung Pamarayan Lama.

Bendung Pamarayan Lama mempunyai beberapa bagian bangunan antara lain saluran irigasi sepanjang ratusan meter yang dilengkapi dengan 10 pintu air berukuran raksasa. Diameter setiap pintu hampir 10 meter lebih yang merupakan bangunan utama. Selain itu Bendung Pamarayan Lama juga memiliki dua menara yang terletak di sisi kanan dan kiri bendungan. 

Untuk menggerakkan setiap pintu air yang dibuat dari baja tersebut, pemerintah Belanda menggunakan rantai mirip rantai motor yang berukuran besar. Sepuluh rantai dikaitkan pada roda gigi elektrik yang terletak di bagian atas bendungan. Roda-roda gigi yang berfungsi untuk menggerakkan pintu air berjumlah puluhan di dalam 30 bok  tipe 1,2 dan 3 (berukuran sedang) dan  roda gigi tipe 4 dan 5 (berukuran besar). Setidaknya ada 20 as kopel berdiameter sekitar 7 centimeter dan panjang 1,5 meter sebagai penghubung roda gigi di setiap pintu air.

Pada saat itu yang mengerjakan jembatan tersebut adalah orang-orang pribumi dan para pekerja dari daerah jawa  yang dipekerjakan oleh orang belanda. Proyek bendungan  ini selesai dikerjakan pada tahun 1914 dan air mulai disalurkan pada tahun 1918, disamping bendungan ini terdapat bangunan  yang di gunakan oleh kolonial belanda untuk MEMBAYAR upah para pekerja atau biasa di sebut dengan tempat ”PAMAYARAN”  dalam bahasa Sunda karena  bendungan ini di bangun di daerah yang kebanyakan penduduknya menggunakan bahasa  sunda.

Warga pribumi hanya dibayar atau mendapat imbalan atas pekerjaannya hanya dengan dibayar dengan uang logam Wel Wina dengan cara pakai takeran tidak diperhitungkan dengan rinci, entah takeran uang ataupun takeran jagung. Pokoknya ukuran hanya 1 (satu)  takeran. Mulai pada saat itu munculah keributan antara warga pribumi yang meributkan imbalan yang diberikan oleh Belanda. Semakin lama semakin berlanjut keributan tersebut, dan pada akhirnya daerah tersebut menjadi sebutan PAMAYARAN para pekerja jembatan pada masa penjajahan colonial Belanda. Dengan semangat juang dan kesatuan dari warga Indonesia akhirnya Bangsa Indonesia berhasil merebut  KE-MERDEKAAN-NYA dari tangan penjajahan Belanda.

Kini dengan perbendaharaan kata yang semakin banyak dan bahasa yang semakin  berkembang sebutan PAMAYARAN  berubah menjadi PAMARAYAN yang kini menjadi nama sebuah kecamatan di Kabupaten Serang Provinsi BANTEN. 

Daftar Pustaka
Nasheh Ulwan, Muhammad. 2013. Legenda Rakyat Banten. Blogspot.com pada Rabu, 27 Maret 2013

Kisah Gunung Pinang


Pada zaman dahulu kala, di sebuah pesisir pantai kota Banten. Hiduplah seorang janda dengan anak laki-lakinya. Anak laki-laki itu bernama Dampu Awang. Kehidupan mereka sangat miskin dan serba kekurangan.

Namun, meskipun kehidupan mereka sangat miskin Dampu Awang memiliki cita-cita yang sangat tinggi. Ia ingin sekali menjadi seorang saudagar kaya raya. Tetapi, cita-cita tersebut sangat sulit untuk di raihnya. Jangankan untuk menjadi saudagar kaya raya. Pekerjaan yang tetap saja ia tidak punya.

Suatu hari, ada sebuah kapal layar berlabuh milik seorang saudagar kaya yang bernama Teuku Abu Matsyah. Saudagar kaya itu akn berdagang di Banten. Melihat kapal saudagar kaya itu, timbul sebuah keinginan untuk bekerja di sana sebagai awak kapal. Ia segera kembali ke rumah dan mengutarakan keinginannya kepada sang ibu.

‘’ Ibu, di pelabuhan ada kapal seorang saudagar yang sangat kaya sedang berdagang di sini. Aku ingin sekali bekerja di kapalnya. Jika aku beruntung, siapa tahu aku bisa menjadi saudagar kaya sepertinya. Bu, bolehkah aku ikut berlayar dengannya? Tanya Dampu Awang.

Namun, ibunya langsung melarang.

‘’ Tidak anakku! Kau tidak boleh ikut berlayar bersama sudagar kaya itu.’’ Jawab sang ibu tegas.

‘’ Mengapa bu? Dengan cara aku bekerja di kapal tersebut. aku dapat membantu ibu untuk memenuhi kebuhuhan kita. Apalagi jika suatu saat nanti aku bisa menjadi saudagar kaya. Kehidupan kita akan berubah.’’ Kata Dampu Awang.

‘’ Tidak Nak! Ibu sangat takut. Jika kau sudah menjadi kaya nanti. Kau pasti akan lupa dengan ibumu yang miskin ini.’’ Kata ibunya sedih.

Namun, Dampu Awang terus saja merengek agar diijinkan untuk pergi berlayar. Akhirnya, dengan berat hati sang ibu pun mengalah. Sang ibu mengizinkan Dampu Awang untuk ikut berlayar bersama saudagar itu. Tetapi, sang ibu meminta Dampu Awang untuk berjanji agar ia selalu memberikan kabar. Sebelum berangkat, sang ibu menitipkan Burung kesayangan milik ayahnya.

‘’ jagalah Burung itu baik-baik Nak, dan jangan lupa untuk memberikan kabar.’’ Kata ibuya.

‘’ Baik bu, aku tidak akan melupakan pesan ibu.’’ Kata Dampu Awang.

Sang ibu pun menangis dan memeluk anaknya dengan sangat erat. Dampu Awang pun langsung naik kapal dan siap untuk berlayar ke malaka.

Selama di kapal, Dampu Awang dikenal sebagai pekerja yang sangat rajin. Ia selalu menjalankan perintah majikannya dengan baik. Saudagar Teuku Abu Matsyah sangat senang melihat semangat Dampu Awang. Jabatannya terus naik dan selalu memuaskan.

Suatu hari, saudagar kaya itu memanggil Dampu Awang

‘’ Ampun Tuanku! Ada keperluan apa tuan memanggil saya?’’ kata Dampu Awang.

‘’ Begini Dampu Awang. Aku melihat pekerjaan mu ini sangat baik. Selama kau bekerja di sini, kau selalu menunjukkan rasa hormatmu. Aku sangat ingin menjodohkanmu dengan putriku. Siti Nurhasanah. Bagaimana? Apakah kau mau menikah dengannya?’’ ujar Teuku Abu Matsyah.

Dampu Awang sangat terkejut mendengar apa yang dikatakan majikannya tersebut. ia pun sangat senang.

‘’ Tentu saja saya bersedia Tuan.’’ Jawab Dampu Awang.

Akhirnya, pernikahan pun dilaksanakan dengan sangat meriah. Setelah menjadi menantu saudagar kaya. Ia di percaya untuk menyimpan seluruh harta mertuanya tersebut. Setelah mereka menikah, Teuku Abu Matsyah jatuh sakit dan meninggal dunia. Dampu Awanglah yang menggatikan posisi ayah mertuanya tersebut.

Setelah menjadi saudagar kaya. Ia melupakan ibunya. Ia tidak pernah lagi memberikan kabar dan terlena dengan kemewahan. Suatu hari, Dampu Awang dan istrinya berlayar ke wilayah pantai Banten. Tibalah mereka di daerah tempat tinggal Dampu Awang.

Seluruh pernduduk sangat terpukau melihat kemewahan kapal Dampu Awang. Para penduduk beramai-ramai datang ke pelabuhan untuk melihat kapal layar yang sangat mewah tersebut. kabar tentang berlabuhnya kapal layar yang mewah itu terdengar oleh sang ibu Dampu Awang. Ia sangat yakin saudagar kaya itu adalah anak laki-lakinya. Ia pun langsung bergegas datang ke pelabuhan untuk bertemu dengan Dampu Awang.

Setibanya di pelabuhan, ibu Dampu Awang melihat anaknya berdiri di pinggir kapal dan mengenakan pakaian yang sangat mewah. Selain itu, sang ibu pun melihat ada seorang wanita yang sangat cantik berdiri di sampingnya. Sang ibu sangat senang karena anaknya, sekarang sudah memiliki seorang istri. Ia langsung berlari ke arah kapal mendekati anaknya tersebut. Ia berlari dengan cepat dan berteriak memanggil nama anaknya.

‘’ Dampu Awang anakku, kau sudah kembali Nak, ibu sangat merindukanmu.’’ Kata sang ibu menangis bahagia.

Dampu Awang sangat terkejut melihat seorang perempuan tua yang pakaiannya compang-camping dan sangat dekil sekali. Ia sangat mengenal wajah perempuan yang memanggil-manggil namanya tersebut. Ia tahu bahwa perempuan itu adalah ibunya. Namun, ia sangat malu mengakui perempuan yang seperti pengemis itu ibunya.

‘’ Kang, apakah perempuan tua itu adalah ibumu? Mengapa selama ini kau tidak pernah menceritakan jika masih mempunyai seorang ibu?” Tanya istrinya heran.

‘’ Bukan sayang! Perempuan tua itu bukan ibuku. Ibuku sudah lama meninggal. Ia hanya seorang perempuan yang gila. Sudah abaikan saja perkataannya itu. Sungguh tidak penting!’’ kata Dampu Awang.

Sang ibu terus-menerus memanggil namanya.

‘’ Hei, perempuan tua! Diamlah! Kau bukan ibuku. Aku sudah tidak memiliki ibu. Ibuku sudah lama meninggal!’’ kata Dampu Awang sangat kesal.

Sang ibu sangat terkejut mendengar apa yang dikatakan anak laki-lakinya itu. Kini ketakutannya menjadi kenyataan. Hatinya bagaikan teriris-iris. Kini, anak kandungnya sendiri tidak mengakuinya sebagai ibunya. Air matanya pun membasahi pipinya. Tanpa sadar ia berdoa.

‘’ Ya Tuhan, apakah aku salah? Jika dia bukan anakku Dampu Awang, biarkanlah dia pergi. Tetapi, jika dia anakku. Tolong berikanlah hukuman yang setimpal kepadanya!’’ doa sang ibu.

Tidak lama kemudian, bumi seketika bergetar. Langit bergemuruh. Petir pun menyambar sangat dasyat. Langitpun berubah menjadi sangat gelap. Tiba-tiba, terjadilah badai. Kapal layar Dampu Awang yang sagat mewah itu terombang-ambing di lautan. Seluruh isinya porak-polanda. Dampu Awang dan istrinya sangat panik dan bingung

Tiba-tiba, Burung peliharaan Dampu Awang berbicara.

‘’ Dampu Awang! Akuilah perempuan itu sebagai ibumu. Cepatlah akui dia!’’ kata sang Burung.

‘’ Tidak, ibuku sudah lama mati.’’ Teriak Dampu Awang.

Seketika, kapal layar Dampu Awang tiba-tiba terangkat ke udara dan terlempar ke sebelah selatan dan seluruh isinya. Kapal itu tertelungkup dan membentuk sebuah gunung. Dampu Awang dan istrinya tidak dapat menyelamatkan diri. Setelah itu lautan kembali seperti semula dan seolah tidak terjadi apa-apa.

Gunung tersebut di kenal dengan nama Gunung Pinang. Dan hingga kini, gunung tersebut masih ada dan letaknya di antara kota Serang dan Cilegon.

Daftar Pustaka
Nasheh Ulwan, Muhammad. 2013. Legenda Rakyat Banten. Blogspot.com pada Rabu, 27 Maret 2013